Datanglah ke Desa Bulak. Desa ini terletak di Kecamatan Jatibarang, 17 KM dari Kota Indramayu. Tepatnya di Desa Bulak, di depan terminal, akan kita temukan areal seluas 2 hektare yang penuh dengan pepohonan.
Memandang jauh ke dalam areal itu, akan tampak tembok memanjang dan gapura kecil yang terbuat dari batu bata merah yang sudah berlumut. Di balik tembok dan gapura itu, di antara pepohonan besar, samar akan terlihat sebuah pekuburan. Sedangkan di depan areal itu sendiri, sebuah gerbang masuk berwarna putih dan tampak kusam. Di situ terpasang sebuah pelang bertuliskan, "Taman Rekreasi Buyut Banjaran Pangeran Surya Negara Desa Bulak Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu".
Aneh juga. Mengapa tempat yang penuh dengan pepohonan besar dan kompleks pekuburan serupa itu disebut dengan taman rekreasi? Tak ada pemandangan apa pun di dalamnya, juga misalnya, kolam renang, atau satu dua permainan yang biasa ada dalam sebuah taman rekreasi umumnya. Lepas dari soal tersebut, tempat yang tak jauh dari perumahan penduduk itu tetaplah memiliki daya tariknya sendiri. Tak hanya bagi masyarakat sekitar, tapi juga bagi para pendatang dari luar kota. Tempat ini memang banyak didatangi untuk berziarah ketimbang sebagai untuk berekreasi. Di tempat itu, di bagian depan, tak jauh dari gapura masuk, terdapat sebuah bangunan sederhana yang di dalamnya terdapat apa yang dipercayai sebagai petilasan Pangeran Surya Negara, seorang pembesar dari Kerajaan Kasepuhan Cirebon.
Selain petilasan Pangeran Surya Negara, satu hal lain yang menjadi daya tarik tempat ini adalah sejumlah kera yang hidup di situ. Mereka hidup di pemakaman dan menyebar di antara pohon kalampok, keserut, dan pohon asam. Bahkan monyet-monyet ini ibarat penghuni tempat itu. Karena itulah dalam buku panduan Pariwisata Kabupaten Indramayu, tempat ini dicantumkan dengan nama Koloni Kera Banjar.
Bagi penduduk setempat dan mereka yang memercayainya, monyet-monyet ini bukanlah sembarang monyet. Mereka berjumlah 41 ekor dan tetap berjumlah sebanyak itu sejak tahun 1601! Artinya, lebih dari tiga ratus tahun monyet-monyet ini lahir dan mati di tempat itu, tapi jumlahnya, percaya atau tidak, jumlahnya tetap 41 ekor! Saat berkunjung di satu petang, sinar matahari nyaris hampir tenggelam. Pemandangan di sekeliling hanya pepohonan di sekitar kompleks pemakaman, padahal cukup penasaran untuk bisa melihat kera-kera tersebut.
"Mereka tidak pernah mengganggu atau mencuri makanan penduduk. Malah orang yang pulang dari pasar atau kebun, dan lewat di sini, sering dengan sengaja menyimpan makanan untuk monyet-monyet ini," kata kuncen. Monyet-monyet itu terdiri dari yang muda, bahkan ada juga yang digendong induknya, hingga yang paling tua. Mereka tampak tidak buas atau galak, seperti monyet kebanyakan jika disodori makanan. Bahkan terkesan, monyet-monyet itu begitu tenang dengan cara menatap yang terasa aneh. Ketika kami membeli pisang, tanpa membuat keributan mereka menghampiri Kamsari yang membagi-bagikannya."Lahirnya kelihatan, tapi matinya tidak pernah ada yang tahu, dan jumlahnya tetap 41. Dulu pernah ada yang mati ketabrak. Bangkainya ada, tapi hilang waktu sudah dikubur. Tengah malam sering saya lihat mereka menggendong monyet yang sudah tua, tapi tidak tahu dibawa ke mana," kata kuncen sejak tahun 1967. Percaya tak percaya dengan cerita Kuncen. Tapi inilah yang banyak dipercayai orang tentang monyet di Desa Bulak. Monyet yang bukan sekadar monyet, tapi juga dianggap sebagai karuhun.
SYAHDAN di tahun 1601, Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon memerintahkan di tempat itu agar dibangun sebuah bendungan. Pengerjaan pembuatan bendungan itu dipimpin oleh Pangeran Surya Nagara dengan para mandor yang didatangkan dari Kesepuhan, sedang penduduk setempat yang menjadi pekerjanya. Namun pada hari Jumat, ketika penduduk sedang bekerja membuat bendungan, tiba-tiba Pangeran Surya Nagara datang meninjau. Dan ia kaget karena tidak menemukan seorang pun mandor di situ.
Setelah dicari ternyata para mandor dan beberapa pekerja sedang makan buah-buahan. Tentu saja Pangeran Surya Nagara merasa marah dan geram. Mereka dianggap tidak taat pada perintah Sultan. "Ketika itu juga Pangeran Surya Nagara berteriak marah dan mengatakan mereka bukan manusia. Lalu sejak itu berubahlah mereka menjadi monyet, dan berjumlah 41 ekor!" tutur kuncen. Lepas dari kebenaran sejarah cerita tersebut, namun satu hal yang pasti, itulah yang menjadi alasan mengapa monyet-monyet di Desa Bulak itu banyak dipercaya sebagai monyet karuhun.
Menurut kuncen atau juru kunci, pernah dulu ada mahasiswa dari Bandung yang merasa penasaran dan melakukan penelitian di tempat itu untuk membuktikan kebenaran jumlah monyet tersebut. Setelah dua minggu mengamati monyet-monyet tersebut setiap hari, mahasiswa itu tetap tidak menemukan jawaban yang logis, mengapa monyet itu jumlahnya tetap 41 ekor. "Pernah juga ada yang mencoba mencurinya, dimasukkan ke dalam peti dan mau dibawa ke Jakarta. Tapi dibawa lagi ke sini. Dan si Pencuri itu mengaku banyak sekali gangguan dalam perjalanan. Kami terus berjalan masuk lebih jauh ke areal itu. Monyet-monyet tersebut mengikuti sambil makan pisang, sambil memandang ke arah kami. Seekor di antaranya tampak sudah begitu tua. Mungkin tak lama lagi monyet itu akan mati, dan seekor monyet yang lain tampak juga sedang hamil.” ujar juru kunci. Apa mungkin, kematian dan kelahiran mereka bisa bersamaan sehingga jumlah mereka tetap 41 ekor? Tak sedikit penduduk setempat berziarah ke tempat itu. Selain berziarah ke petilasan Pangeran Surya Nagara, juga tak sedikit yang syukuran dengan membawa nasi tumpeng untuk monyet-monyet itu. Dari mulai yang minta berkah hingga para TKI dan TKW syukuran sepulang kerja dari Arab Saudi.
Nah, bagi anda yang penasaran ingin mengetahuinya datang aja ke Desa kami. Sekedar ingin mengetahui asal-usul ataupun berziarah ke makam Buyut Banjar. Apalagi setiap bulan Syawal tempat ini dijadikan sebagai tempat rekreasi yang sangat menarik......